cerpen: Widya ArumSetelah shalat isya' berjamah dimushala, aku selalu duduk dibangku panjang yang terbuat dari kayu di tepi kolam taman. Menyaksikan ikan-ikan yang tak pernah tidur. Mereka pernah ngantuk nggak, ya? Haha, pertanyaan bodoh. Mendengarkan gemericik air terjun mini yang sengaja dibuat tukang untuk memperindah kolam. Dan nyata, kolam ini memang indah. Menikmati pemandangan malam, langit bersepuh kelam di hiasai kerlipan bintang, sesekali rembulan mengulas senyum padaku. Betapa indah lukisan karya Tuhan.
Aku amati daun yang mengapung di atas air, dia berusaha untuk tidak tenggelam oleh riak-riak air. Ada yang berhasil mengapung, ada yang berusaha dengan sekuat tenaga tapi akhirnya tenggelam. Ada pula yang dengan mudahnya tenggelam dengan hanya riak kecil yang menggoyangnya. Kiranya seperti itulah hidup, berisikan perjuangan untuk melawan arus kehidupan, bertahan dari kerasnya gelombang kehidupan. Tentunya manusia harus punya pegangan yang kuat agar tak hanyut dan tenggelam.
“Hai lagi ngapain?” tiba-tiba Yoga duduk di sebelahku, mengagetkan lamunku.
Kutatap dia sebentar, dia memandang ke arah kolam, seakan mencari apa yang kulihat.
”Lagi lihat apa sih, kayaknya kok serius amat. Dari tadi kuamati gak beralih posisi?” tanya Yoga sambil terus mengamati kolam.
”Mau tau aja... Ha, ketahuan ngintip dari tadi ya?”
”Siapa yang ngintip, ge-er. Makanya jangan melamun, ada orang di belakangnya hampir setahun juga nggak sadar.”
Aku hanya tersenyum, dan mata kami kini tertuju pada kolam yang airnya nampak hijau karena dasar kolam telah dipenuhi lumut. Tapi lumut itu tak mengeruhkan air, ia masih nampak bening.
”Lihat ikan-ikan itu Ga, kok gak pernah tidur ya?” tanyaku tolol.
Tiba-tiba Yoga meloncat dan pergi. Namun kembali lagi membawa sebuah bungkusan plastik. Ia mengambil satu genggam dari bungkusan itu, ia lemparkan ke kolam. Ikan-ikan menyambutnya hingga membentuk kerumunan, dan saling berebut mendapatkan makanan. Aku tersenyum. Yoga memandangku, kemudian ikut tersenyum.
”Bila Tuhan menabur uang secara gratisan, mungkin manusia seperti ikan-ikan itu kali ya?” gumam Yoga, suaranya hampir tak terdengar.
”Manusia itu dibekali akal Ga, jadi Tuhan tidak akan menabur uang sembarangan tanpa manusia berusaha.”
”Halah Bu Ustad ndalil.” Aku hanya mencibir saja mendengarnya.
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Seringkali Yoga menemaniku di tepi kolamnya. Aku sudah seminggu KKN di desa ini. Aku menginap di rumah Pak RT bersama keempat temanku. Yoga adalah anak Pak RT, jadi kami tinggal satu atap. Rumah Pak RT cukup luas, ada lima kamar. Satu kamar untuk pasangan Pak dan Bu RT, satu kamarnya Yoga, kamarku dengan Tari, dan sisanya untuk kedua temanku yang laki-laki.
Yoga ternyata alumnus universitas tempatku kuliah, jadi kami tambah nyambung ngobrolnya. Dari membicarakan tentang kemajuan kampus, tentang dosen kampus yang centil, sampai tentang dekan yang super killer. Kami sering tertawa menceritakan itu semua.
”Ra, kamu pernah jatuh cinta nggak?”
”Pernah.”
”Gimana caranya cowokmu nembak kamu?”
”Mau tau aja, memang kenapa? Kamu lagi jatuh cinta, ya?”
”Mmm…iya,” tandasnya singkat.
”Gadis manakah yang mampu mencuri hatimu?”
”Teman kerja.”
”Memangnya kamu tidak pernah nembak cewek?”
”Dulu pernah sih, tapi berakhir tragis. Aku ingin cara menyatakan cinta yang membuat dia tidak bisa melupakan aku.”
”Yang bagaimana?”
”Belum tau, makanya aku pingin nanya sama kamu?”
Berawal dari malam itu, kami selalu berbicara tentang hati, cinta dan perasaan. Kolam di samping rumah Yoga selalu setia mendengarkan cerita-cerita kami.
”Apa ayahmu seorang pencuri?” tanya Yoga suatu ketika.
”Enak aja ngatain bapakku pencuri!” Hatiku geram, mataku melotot ke arahnya. Bahkan tanganku mengepal siap memukulnya.
”Kalau bukan, dari mana kamu belajar mencuri, mengapa kamu pandai sekali mencuri hatiku?” kata Yoga menatapku.
Dahiku mengkerut tak mengerti. ”Kira-kira begitu aku akan memulai menyatakan cinta pada Asmara.”
Ya, Asmara nama gadis itu, yang mampu mencuri hati Yoga.
”O...mau menggombal ternyata.”
”Siapa yang nggombal? Kan romantis, bukannya cewek cenderung suka yang romantis?”
”Romantis itu banyak gombalnya. Lagian, nuduh nyuri kok dibilang romantis, yang ada kamu ditendang duluan.”
”Jadi, cara ini menurutmu gak pas ya?”
”Yang lain aja deh…,” saranku.
Begitu selalu, aku jadi bahan percobaan oleh Yoga. Setiap malam, tentunya di tepi kolam itu, kami selalu membahas tentang PeDeKaTe Yoga kepada Asmara. Seperti yang dilakukannya malam ini, benar-benar membuatku jengkel.
”Kemarin malam aku melihat 1.000 bintang di langit,” ucap Yoga sambil menatap ke atas.
”Ngitung pake apa kamu? Jari tanganmu gak akan cukup,” kataku tak acuh.
”Tapi malam ini tinggal 998. Kamu tahu gak yang dua ke mana?” tanyanya sambil menoleh padaku.
”Udah jatuh kali, memberikan kebahagiaan kepada Yoga dan Asmara,” jawabku asal, menggoda Yoga.
”Dua bintang itu sekarang kulihat di dalam matamu.” Yoga menatapku lekat, seakan ada panah yang menusuk meluncur dari matanya. Jantungku berdesir hebat, lalu berdegup cepat. Aku termangu dalam kebisuan.
”Sip!! Kayaknya cara ini pas Ra, kamu aja sampe termangu gitu, hahaha…”
Setelah kejadian itu, entah aku menjadi muak mendengar Yoga menyebut nama Asmara. Rasanya aku ingin menyumbat telingaku. Aku ingin menghindar dari Yoga, tapi aku selalu ingat kata-kata Yoga, ”Terima kasih ya Ra, kamu mau menjadi sahabatku, mau mendengarkan tentang Asmaraku.” Bagaimana aku bisa menghindar dari orang yang membutuhkan aku sebagai sahabat. Aku sungguh tersiksa dengan rasa ini.
Malam ini aku benar-benar malas duduk di tepi kolam. Melihat tampang Yoga yang tanpa dosa menjadikan aku kelinci percobaan. Habis isya’ aku tiduran saja di kamar dengan Tari.
”Tumben gak nongkrong dengan Yoga?” tanya Tari penuh selidik.
”Lagi males aja.”
”Thok...thok...thok...” Pintu kamar ada yang ngetuk.
”Buka Ri... Kalau Yoga, bilang aja aku lagi gak enak badan,” bisikku pada Tari.
Tari nurut aja. Terntata benar-benar Yoga. Tapi dia cuma sebentar dan berlalu pergi hanya meninggalkan kata, ”Oh...” Aku menghela napas lega. Untung dia nggak pake acara pegang jidat. Namun tak lama kemudian pintu kamar kembali ada yang ngetuk. Yoga memberi balsam, minyak kayu putih, obat tolak angin, dan segelas teh hangat. Eh, masih pake nitip salam juga, ”Moga cepat sembuh,” katanya.
”Duh dapet perhatian kusus nih ye… Dibilang juga apa, Yoga tuh ada hati sama kamu, Ra.”
”Ya iyalah diperhatiin, kalau gak ada aku kan dia gak ada mangsa lain buat kelinci percobaan,” jawabku sewot.
”Kayaknya kamu cemburu deh Rin, sama Asmara tuh...”
Cemburu? Mana mungkin? Benarkah ini rasa cemburu? Tapi buat apa cemburu, toh Yoga mencintainya, dan sekali lagi aku hanyalah sahabat barunya. Kucoba menghibur diriku dan berusaha menepis bayangan Yoga dari benak. Tetapi sulit.
Malam berikutnya aku duduk-duduk kembali di tepian kolam, nggak enak dengan Yoga, nanti dia malah curiga. Seperti biasa ia menyusulku dan selalu duduk di sampingku. Wuih, kali ini bawa setangkai mawar segala. Mau bikin rencana gila apa lagi ini anak? Hatiku kupersiapkan agar tidak sampai tertipu seperti sebelumnya.
”Udah baikan, Ra?”
”Udah, makasih ya…”
”Makasih atas apa?”
”Atas semua,” jawabku singkat.
Dahi Yoga berkerut, sepertinya dia tak paham. Aku terdiam. Tiba-tiba aku merasa gugup. Ah, masa nggak ngobrol sehari jadi salting gini sih.
”Atas pemberian kamu kemaren, teh hangatnya, minyak anginnya, obat penolak anginnya...”
”O...o...itu.” Yoga mengulas senyum. Sebenarnya manis juga kalau lagi senyum. Ah, apa sih… segera kutepis pikiran kotorku.
”Padahal aku cuma sedikit pusing kok Ga. Jadi obatnya nggak kuminum.”
Yes!! Teriakku girang dalam hati. Aku merasa menang ngerjain Yoga, skor satu sama.
”Ya buat jaga-jaga kalau lain kali masuk angin,” tukasnya tak mau kalah.
Aku tak pernah bosan menatap ikan-ikan di kolam itu. Kurasakan ada keunikan tersendiri. Aku senang sekali menikmati pemandangan di depanku.
”Tiara...aku ingin ngomong,” celetuk Yoga tiba-tiba.
”Ngomong aja.” Kualihkan pandanganku ke Yoga sejenak, kemudian kembali menatap air terjun mini di depanku.
”Tiara...aku mencintaimu.”
Deg!
”Kamu salah nyebut nama tuh Ga, bukan Tiara tapi Asmara, ha...ha… Gak jadi dapat cinta kamu entar malah dapat celaka, tau!” Aku terus saja tertawa, padahal hanya untuk menutupi rasa gugupku.
”Aku gak salah ngomong Ra, karena kamulah sebenarnya Asmaraku. Kamulah yang kucintai selama ini. Kebersamaan kita yang singkat ini mampu menggores bahagia pada hari-hariku. Setelah bertemu denganmu, hidupku lebih berarti, penuh warna-warni.”
Aku diam, tak berani memandang Yoga. Aku lihat kolam itu menjadi bening sekali. Aku masih takut hanya dijadikan kelinci percobaan.
”Benarkah itu?” tanyaku lirih.
”Sungguh Ra, tataplah kedua mataku, temukanlah kesungguhanku di dalamnya.”
Ragu-ragu kumenatap kedua mata Yoga, di sana aku menemukan sebuah harapan yang menyala-nyala, melambai-lambai mengajakku masuk ke dalamnya.
”Tiara, maukah sejak detik ini kamu mengisi ruang hati, ruang mimpi, dan ruang hidupku? Mengisi sisa waktuku?” tanya Yoga sambil mengulurkan setangkai mawar segar yang berada di tangannya.
Kusambut mawar cintanya. Kupejamkan mata, kuhirup dalam-dalam aroma bunga cinta yang ditaburkan Yoga. Kurasakan hatiku gerimis, basah oleh kebahagiaan yang tak terperi.
Setelah shalat isya' berjamah di mushala, aku selalu duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu di tepi kolam taman. Menyaksikan ikan-ikan yang tak pernah tidur. Mereka pernah ngantuk nggak, ya? Haha, pertanyaan bodoh. Mendengarkan gemericik air terjun mini yang sengaja dibuat tukang untuk memperindah kolam. Dan nyata, kolam ini memang indah. Menikmati pemandangan malam, langit bersepuh kelam di hiasai kerlipan bintang, sesekali rembulan mengulas senyum padaku. Betapa indah lukisan karya Tuhan.
Rabu, 13 Januari 2010
Di Tepi Kolam Cinta
at 20.03 1 comments
Labels: AK#21/2010, Pojok Victoria
Sabtu, 08 Agustus 2009
APAKABAR 11/2009 TELAH BEREDAR
Mbah Surip, I Love You Full
Bangsa Indonesia berduka, meratapi kepergian mendadak seniman nyentrik Mbah Surip. Dari Manohara hingga Presiden mengaku kehilangan sosok sederhana itu. Benarkah popularitas telah "membunuh" pelantun lagu Tak Gendong itu? Baca cerita selengkapnya di Sorot.
Curhat edisi ini mengisahkan kepedihan seorang duda yang merasa ditipu oleh wanita yang dikenalnya dari rubrik TTM.
Baca juga Gosip terkini selebriti tanah air: Jikustik, Ferdy Hasan, Raffi Ahmad, Marcella Zalianty, dan Fedi Nuril.
at 00.00 1 comments
Labels: Curhat, edisi lama, Gosip, Kampung Halaman, Pojok Victoria, Tips, TTM
Rabu, 15 Juli 2009
Ibu Kembali Padamu, Nak
Cerpen: Jaladara Aku sering mengingat hari-hari terakhir di kampung kelahiranku. Tatapan wajah orang-orang yang mengantarku, kata-kata yang mereka nasihatkan, cara mereka menyalami tangan, dan memelukku melepas kepergian dari tengah-tengah mereka. Aku selalu mengingat deretan rumah-rumah yang kulewati sepanjang gang. Pohon-pohon di halamannya, dan anak-anak kecil yang dengan tatapan ingin tahu memperhatikan seorang perempuan yang tengah berjalan menyeret koper besar, tujuh tahun silam.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya aku akan menceritakan kisah ini kepadamu. Jika bukan karena seorang anak kecil di Taman Victoria yang tanpa sengaja menubrukku karena tak bisa mengendalikan laju sepatu rodanya, mungkin aku akan menyimpan rapat kisah ini hanya untuk diriku sendiri.
Hari itu, pagi-pagi benar aku telah keluar dari rumah tempatku bekerja sebagai kung yan di sebuah rumah beton di Wanchai. Majikan memperlakukanku seperti mesin yang tak kenal lelah dan tak perlu istirahat. Aku ingin berontak sebenarnya, namun apa daya. Aku tak punya kekuatan apa-apa. Apalagi ini negeri orang.
Dari Wanchai, aku naik tram menuju Taman Victoria. Minggu adalah hari kebebasanku, juga semua kung yan sepertiku. Setiap Minggu aku ingin cepat-cepat sampai di taman itu, untuk menemuinya. Entah kenapa aku merasa senang jika bertemu dengannya. Apalagi saat aku duduk di sampingnya, menyandarkan kepalaku di bahunya, dan berkeluh kesah tentang pekerjaanku. Aku merasa betul-betul damai. Kedamaian yang belum pernah kutemukan selama bertahun-tahun aku bekerja di negeri asing ini. Setidaknya, seminggu sekali aku merasakan kebahagiaan. Bersamanya.
Aku mengenalnya beberapa bulan lalu di taman itu juga. Di antara ribuan wanita tua dan muda dengan bermacam dandanan dan aktivitas, entah kenapa pandanganku tertuju pada sosoknya yang tenang. Ia sedang duduk bersama dua temannya di salah satu bangku taman. Kedua temannya asyik memencet-mencet tombol handphone keluaran terbaru, sementara ia menghisap sebatang rokok. Pandangannya lurus menerawang jauh sesuatu di depannya, entah apa.
Aku menyengaja melangkah di depannya. Saat itulah pandangan mata kami bertemu untuk sesaat. Aku langsung memalingkan muka berpura-pura tidak melihatnya, atau setidaknya melihat jauh sesuatu di belakangnya. Namun dari sudut mataku aku tahu – atau setidak mempercayai pikiranku sendiri – bahwa ia tengah memperhatikanku.
Hari Minggu berikutnya aku berjalan-jalan di sekitar bangku tempatnya pernah duduk. Aku berharap bisa melihatnya lagi. Namun yang aku lihat hari itu adalah orang-orang yang lain. Aku tahu mereka sama sepertiku. Mereka tengah melepas lelah dan penat setelah berhari-hari bekerja. Tidak ada niat di pikiranku untuk menyapa mereka. Aku hanya menunggunya. Minggu itu sudah aku niatkan untuk menyapa dan berkenalan dengannya.
Saat orang-orang yang duduk di bangku itu pergi, bergegas aku menghampiri bangku itu dan duduk di atasnya. Sengaja aku menaruh tasku agak jauh di samping, agar jika ia datang, aku tinggal mengambil tasku dan meletakkannya di pangkuan sehingga ia bisa duduk di sampingku. Hmm, harapan yang tidak masuk akal, memang. Di taman itu banyak bangku, peluangnya sangat kecil ia akan datang dan duduk di bangkuku.
Udara pagi yang cukup dingin berembus pelan. Dedaunan pohon-pohon besar di dekat bangkuku jatuh beberapa helai. Aku melayangkan pandangan ke seluruh penjuru taman yang dijejali oleh ribuan perempuan. Mereka berbicara dengan bahasa yang sangat akrab di telingaku, bahasa negeriku. Banyak sekali aktivitas yang mereka lakukan. Ada yang bergerombol mendengarkan ceramah seorang dai, ada yang sekadar duduk berkerumun dan ngerumpi, ada juga yang tengah berjoget mengiringi musik dangdut.
Aku tersenyum-senyum sendiri. Di taman itulah aku menemukan wajah negara asalku. Di tengah-tengah belantara beton negeri asing yang bermil-mil jauhnya dari negeriku, ternyata masih ada tempat seperti itu.
Mendadak aku dikagetkan oleh suara seseorang di sampingku. Suara yang diikuti oleh berpindahnya tas ke pangkuanku. Dan di situlah, di bekas tempat tasku berada, di sampingku, ia duduk. Meski ia mengatakan maaf dan permisi, tapi nadanya datar, bahkan ketus. Seolah tak sungguh-sungguh mengatakannya.
Ia duduk di sana. Seperti yang aku lihat seminggu sebelumnya, tangannya memegang sebatang rokok. Dengan angkuh ia mengisap dan mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke udara. Untuk sesaat aku tidak percaya apa yang aku lihat. Lebih tepatnya, aku terkejut mendapati kebetulan itu. Bukan sepenuhnya kebetulan memang, karena aku telah mengharapkan, merencanakannya.
”Ada apa lihat-lihat? Gak biasa lihat orang merokok di sini, ya?” ujarnya ketus. Aku langsung memalingkan muka. Berpura-pura mencari sesuatu di dalam tasku.
Jantungku berdetak kencang. Aku hanya bisa menunduk dan diam. Dalam kepalaku terangkai berpuluh-puluh kalimat yang ingin segera kuucapkan. Entah kenapa, ia seperti magnet yang terus menarik pikiranku waktu itu untuk terus memikirkannya. ”Asalnya dari mana?” ia bertanya kepadaku, masih dengan gaya bicara yang datar, bahkan cenderung ketus, tanpa melihat ke arahku.
”B..b..anyuwangi,” jawabku gugup.
Seakan mengetahui kegugupan dan ketakutanku, ia menoleh dan melembutkan sedikit gaya bicaranya. Ia bertanya, ”Hmm...tidak ikut pengajian di sebelah sana?” Ia menunjuk dengan kepalanya ke arah kerumunan perempuan berkerudung. ”Setahuku, banyak orang Banyuwangi di sana,” lanjutnya. ”Oh ya, kalau aku dari Indramayu. Namaku Tommy.”
Aku tertawa terkikik-kikik mendengar ia memperkenalkan namanya. Nama yang aneh bagi seorang perempuan.
”Kenapa tertawa? Emangnya nggak boleh perempuan pakai nama Tommy, heh?”
Setelah tertawa, aku merasa agak santai. Kegugupan yang aku rasakan sebelumnya mulai menghilang. ”Kalau nama saya Rini. Lengkapnya Rini Sulistyowati. Boleh dipanggil Rini, Sulis atau Wati, terserah Mbak Tommy saja.” Aku kembali terkikik-kikik sesaat setelah mengucapkan kata Mbak Tommy.
Memang, meskipun aku tahu ia seorang perempuan, namun dandanannya tidak menunjukkan hal itu. Ia memakai kaos hitam, dipadu dengan celana pendek warna krem yang banyak sakunya dan sepatu kets putih. Rambutnya yang cepak dicat seperti warna rambut bule. Satu-satunya bukti yang meyakinkan dari penampilannya bahwa ia perempuan adalah tonjolan di dadanya.
Dari perkenalan dan saling menyebut nama itu aku dan Tommy mulai akrab. Kami saling bercerita tentang pengalaman kami bekerja. Ia bekerja di Central. Ia sungguh beruntung. Majikan yang mempekerjakannya tidak seburuk majikan yang mempekerjakanku. Oh ya, nama aslinya Sutemi, namun di Hong Kong oleh kawan-kawannya ia lebih sering dipanggil Tommy, karena tingkah laku dan dandanannya yang seperti laki-laki.
Entah kenapa, setelah perkenalan Minggu itu, minggu-minggu setelahnya kami selalu bertemu. Kami saling bercerita tentang banyak hal. Aku merasa nyaman bicara dengannya. Ia menjadi tempatku mengadu, berkeluh kesah, dan berbagi cerita. Aku menyadari, kedekatan kami hampir seperti kedekatan perempuan dan lelaki. Ia dengan segala kelebihan dan kekuatannya, mengisi kekurangan dan kelemahanku.
Kedekatan kami kian lengket ketika, suatu kali, ia mengajakku ke sebuah hostel di kawasan Yuen Long. Di kamar hostel itulah –aku tak ingin menceritakannya, mengingatnya selalu membuatku sangat malu pada diriku sendiri, juga membuatku merasa sangat bersalah, aku merasa sangat tercela – kami bercumbu. Kami saling menyalurkan hasrat badaniah kami. Setelah sekian lama menanggung sepi di negeri orang, aku seakan menemukan kebahagiaan lain bersamanya. Sentuhan-sentuhannya, belaian-belaiannya, dan caranya memperlakukanku selalu membuat hatiku luluh dalam pelukannya.
Setiap minggu kami selalu bertemu di Taman Victoria. Kami berjalan-jalan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Darinya, aku juga tahu, banyak pasangan seperti kami di taman itu. Ia pun menceritakan tentang kekasihnya sebelumnya, seorang perempuan sepertiku. Memang mulanya kami masih malu-malu untuk menunjukkan kedekatan kami. Makin minggu kami makin berani. Bahkan kami tidak malu-malu lagi untuk berciuman di depan orang banyak. Kami tidak ambil pusing dengan orang-orang yang memperhatikan kami. Bersamanya, aku menemukan kedamaian dan kebebasan dari penat dan lelahnya hari-hari bekerjaku.
Hingga datang minggu itu…
Pagi itu seperti biasa aku menunggunya di bangku tempat perkenalan kami. Ia datang dan langsung mencium bibirku dengan penuh nafsu. Orang-orang di sekeliling memperhatikan kami dengan tatapan yang bermacam-macam. Setelah itu kami berjalan-jalan mengelilingi taman. Alangkah bahagianya kami waktu itu. Senyum dan tawa mengalir di sela-sela obrolan kami.
Sepanjang jalan, aku terus menggenggam tangannya. Hingga tiba-tiba, dari arah depan meluncur dengan cepat seorang anak kecil di atas sepatu rodanya. Ia terlihat tidak bisa mengendalikan lajunya. Anak kecil itu meluncur tepat ke arahku. Tangannya merentang, seakan hendak mengusir siapa pun yang ada di depannya (ataukah ia hendak mencari pertolongan?)
Aku tak sempat menghindar. Genggaman tanganku di tangan Tommy aku lepaskan. Tanpa sadar aku merentangkan tanganku seakan menyambut anak kecil itu. Aku jatuh tersungkur ke belakang, dengan anak kecil itu ada dalam pelukanku. Ia menatapku dengan tatapan maaf dan terima kasih. Wajahnya… Menatap wajahnya tiba-tiba aku menangis. Air mata menggenang di mataku. Bermacam kilasan masa lalu berebut memadati ingatanku, seperti slide-slide film yang berebut memutarkan diri di dalam proyektor kepalaku. Kilasan-kilasan tentang keberangkatanku, hari-hariku di negeri asing ini, Tommy, dan tentang…anakku.
Keberangkatanku bekerja meninggalkan suami dan seorang anak yang ketika itu baru berusia dua tahun. Impitan ekonomi memaksaku menerima tawaran untuk bekerja di luar negeri. Kupikir, akan semudah seperti yang diceritakan oleh beberapa perempuan di desaku yang telah berhasil bekerja dan membawa pulang banyak uang. Di saat itulah, saat aku menatap mata polos anak kecil di pelukanku, aku teringat mata anakku yang kutinggalkan tujuh tahun lalu. Ingatan itu merasuk begitu dalam dan kuat, sehingga saat aku bangkit berdiri, aku melupakan Tommy dan berlari sejauh mungkin menjauhinya.
Kisah selanjutnya, kau tahu sendiri. Aku melompat dari lantai tiga apartemen majikanku. Kakiku patah, tak sanggup melangkah sendiri ke Konjen. Beruntung seseorang menemukanku, membawaku ke rumah sakit ini, dan melaporkan peristiwa itu ke KJRI. Dan kau datang, sebagai petugas Konjen, untuk meminta keterangan lengkap tentang peristiwa itu kepadaku. Kuharap kau bisa menolongku. Aku ingin segera pulang ke Indonesia, ke Banyuwangi, untuk menemui anakku. Ia pasti sudah besar sekarang. Aku sangat menyayanginya, dan berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.
Aku rindu kehidupan lamaku, di mana seorang malaikat kecil memanggilku ibu.
at 15.07 0 comments
Labels: edisi lama, Pojok Victoria